PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Remaja adalah generasi masa depan bangsa yang
akan sangat menentukan hitam putihnya
bangsa di kemudian hari. Hal ini dapat dipahami karena para remaja
selain jumlah sangat besar (menurut BPS tidak kurang dari 43,6 juta jiwa atau
19,64% dari total penduduk), remaja termasuk dalam kategori usia produktif yang
apabila dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya akan menjadi modal pembangunan
penerima tanggung jawab guna mengembangkan bangsa di kemudian hari, sudah
selayaknya yang tidak ternilai harganya, mengingat mereka adalah generasi
terdidik yang memiliki semangat kerja dan idealisme yang tinggi.
Remaja perlu dibekali keterampilan hidup
(life skills) untuk bisa menghadapi
problem dan menjalani masa depan yang lebih baik, baik itu dari segi materi
(pengetahuan), intelektual (daya pikir, moral dan penalaran) serta bentuk
fasilitas (sarana dan prasarana). Sehingga diharapkan dapat merubah pandangan
hidup melalui penguasaan teknologi (informasi dan keilmuan) serta perilaku
positif melalui komunikasi dan peningkatan ilmu pengetahuan. Dan hal ini juga
perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, melalui program yang ada.
Harapan yang ada terkait pemberian
pengetahuan ataupun pelatihan tentang keterampilan hidup (life skills) menjadi bentuk agar remaja bisa lebih survive untuk menjalani masa yang akan
datang, selain itu meberikan dampak positif
bagi remaja itu sendiri karena mempunyai nilai jual lebih dan dapat
bersaing dalam dunia kerja. Dapat disimpulkan bahwa setiap remaja wajib mempunyai
keterampilan keterampilan hidup (life
skills) untuk dapat menhadapi tantangan dalam masa yang akan datang sebagai
wujud dari dharma bakti untuk masyarakat dan Negara Indonesia secara
keseluruhan.
1.
PEMBAHASAN
Istilah Kecakapan Hidup (life
skills) diartikan sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan
berani menghadapi masalah
hidup dan penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara
proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu
mengatasinya (Dirjen
PLSP, Direktorat Tenaga Teknis, 2003).
Brolin (1989) menjelaskan
bahwa, “Life skills constitute a continuum of knowledge and aptitude that
are necessary for a person to function effectively and to avoid interruptions
of employment experience”. Dengan demikian life
skills dapat
dinyatakan sebagai kecakapan untuk hidup. Istilah hidup, tidak semata-mata
memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun kita harus
memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti : membaca,
menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya,
bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja, mempergunakan teknologi (Satori,
2002).
Pendidikan Kecakapan Hidup (life
skills) lebih luas dari sekedar keterampilan bekerja, apalagi sekedar
keterampilan manual. Pendidikan kecakapan hidup merupakan konsep pendidikan
yang bertujuan untuk mempersiapkan warga belajar agar memiliki keberanian dan
kemauan menghadapi masalah hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan
kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya.
Indikator yang terkandung dalam Life Skills tersebut
secara konseptual dikelompokkan menjadi 4 yaitu:
1)
Kecakapan mengenal diri
Life Skills (self awareness) atau sering juga disebut kemampuan personal (personal skills)
2)
Kecakapan berfikir
rasional (thinking skills) atau
kecakapan akademik (akademik skills)
3)
Kecakapan social (social skills)
4)
Kecakapan vokasional (vocational skills) atau keterampilan
kejuruan, artinya keterampilan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan
tertentu dan bersifat spesifik (spesifik skills) atau keterampilan
teknis (technical skills)
Menurut Jecques Delor mengatakan
bahwa pada dasarnya program life skills ini
berpegang pada empat pilar pembelajaran yaitu sebagai berikut:
·
Learning to know (belajar
untuk memperoleh pengetahuan).
·
Learning to do (belajar
untuk dapat berbuat/bekerja).
·
Learning to be (belajar
untuk menjadi orang yang berguna).
·
Learning to live
together (belajar untuk dapat
hidup bersama dengan orang lain).
Berdasarkan data BPS Agustus 2009
jumlah penganggur terbuka tercatat sebanyak 8,96 juta orang (7,87%) dari total
angkatan kerja sekitar 113,83 juta orang, dari jumlah 8,96 juta orang tersebut,
sebagian besar penganggur berada di perdesaan. Ini artinya beban perdesaan
menjadi penyanggah jumlah terbesar angkatan kerja, dengan daya dukung
kwalifikasi SDM yang rendah.
Mengacu data BPS Februari 2009 apabila dilihat dari
latar belakang pendidikan para penganggur menunjukkan :
·
SD ke bawah :
27,09 %
·
SMP :
22,62 %
·
SMA :
25,29 %
·
SMK :
15,37 %
·
Diploma dan Sarjana : 9,63 %
Suatu jumlah yang fantantis dan sangat memprihatinkan, dan apabila
ditelusuri lebih jauh, dilihat dari sumber penyebab tidak tertampungnya dalam
dunia kerja, dikarenakan banyak hal yang mempengaruhi, diantaranya adalah :
·
Keterbatasan daya tampung lapangan kerja,
·
Keterbatasan SDM tidak memenuhi tuntutan
kwalifikasi kerja, dengan peluang dan kesempatan yang ada.
·
Jumlah angkatan kerja putus sekolah atau tidak
melanjutkan ke jenjang berikutnya tidak terserap dalam dunia kerja
·
Berusaha mandiri karena tidak memiliki
ketrampilan yang memadai
·
Terjadinya pemutusan hubungan kerja karena
pengaruh globalisasi
·
Dan banyak faktor lainnya.
Bertolak dari kenyataan tersebut, dari berbagai sisi diperlukan
alternatif pemecahan yang menyeluruh, dengan berbagai pendekatan, Pemerintah
memiliki kewajiban untuk menyediakan lapangan kerja tidak dapat sendiri untuk
menuntaskan persoalan tersebut, melibatkan banyak pihak menjadi pendekatan yang
harus dipilih, problema angkatan kerja bukan tanggung jawab pemerintah sendiri,
melainkan pihak dunia usaha menjadi bagian yang perlu dilibatkan agar memiliki
peran dalam mengatasi pengangguran ini.
Pengangguran yang terjadi juga karena mereka tidak memiliki life
skill dalam mengaplikasikan pengetahuannya ketika bekerja. Memang ini problema
yang terjadi di dunia pendidikan kita saat ini. Peserta didik lebih dituntut
untuk mendapat nilai yang tinggi dari pada proses yang baik. Perhatian terhadap
proses kurang begitu ditekankan, hasil akhirlah yang dijadikan tolok ukur.
Menurut saya ini menjadi hal yang begitu menyedihkan, karena stigma masyarakat
secara umum ketika ingin mendapatkan nilai yang baik mereka berusaha memperolehnya
dengan berbagai cara. Peserta didikpun cenderung hanya berusaha menghafal dan
menggunakan pengetahuannya saat itu juga kemudian lupa atau sengaja dilupakan
setelah mereka memperoleh nilai yang diharapkan.
Ada beberapa jenis
kecakapan hidup, antara lain :
A.
Kecakapan Hidup Generik yang terdiri dari:
·
B.
Kecakapan Hidup Spesifik
Ketrampilan/kecakapan Hidup atau
Life Skills akan lebih bermakna bila remaja juga dibekali dan diberi
pemahaman dalam penghayatan tentang nilai-nilai moral dalam
kehidupan, diantaranya: beriman, ulet, percaya diri dan bertanggung jawab.
Nilai moral yang berasal dari
kata ” Mores ” atau ” Moralis” yang mempunyai arti kelakuan,
tabiat, watak, akhlak dan juga cara hidup ( E.Y Kanter, 2001), yang
biasanya berhubungan dengan perbuatan, sikap, tingkah laku yang bersifat
kebaikan-kebaikan. Hal tersebut tentu dapat terbentuk melalui bimbingan dan
peneladanan–peneladanan dari orang tua dan keluarganya, karena lingkungan
keluarga merupakan lingkungan yang terdekat dan terbaik bagi remaja.
Nilai – nilai moral dalam
kehidupan ini bukan hanya untuk difahami semata, namun yang terpenting adalah
implementasinya dalam kehidupan mereka. Untuk memberikan peneladanan kepada
remaja tentu orang tua harus memilki nilai moral itu sendiri, berikutnya baru
bisa memberikan bimbingan kepada para remaja.
Intinya adalah; bahwa nilai
moral dan life skill itu merupakan fondasi yang harus dimiliki oleh para
remaja. dan yang penting dilakukan orang tua harus dapat memberikan
peneladanan kepada mereka. ( Art, S)
Kecakapan hidup spesifik biasanya terkait dengan bidang pekerjaan
(occupational), atau bidang kejuruan
(vocational) yang ditekuni atau akan
dimasuki. Kecakapan hidup seperti itu kadang-kadang juga disebut dengan kompetensi
teknis (technical competencies) dan
itu sangat bervariasi, tergantung kepada bidang kejuruan dan pekerjaan yang
akan ditekuni. Namun demikian masih ada, kecakapan yang bersifat umum, yaitu
bersikap dan berlaku produktif (to be a productive people). Artinya, apapun
bidang kejuruan atau pekerjaan yang dipelajari, bersikap dan berperilaku
produktif harus dikembangkan.
2.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang saya dapatkan dari uraian diatas adalah betapa
pentingnya kecakapan hidup (life skills)
guna membangun kemandirian masa depan yang mampu bersaing tidak hanya sebagai
subyek begitu saja melainkan sebagai subyek yang bisa menjadi inovator dan
motivator. Jika hal itu dapat dicapai, maka faktor ketergantungan
terhadap lapangan pekerjaan yang sudah ada dapat diturunkan, yang berarti
produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap.
Secara
khusus pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan untuk:
·
mengaktualisasikan potensi peserta didik
sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi;
·
merancang pendidikan agar fungsional bagi
kehidupan peserta didik dalam menghadapi kehidupannya di masa datang;
·
memberikan kesempatan kepada sekolah untuk
mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan
berbasis luas, dan;
·
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di
lingkungan sekolah, dengan memberi peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di
masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah
3.
REFERENSI